Jakarta, Penelitian terbaru kembali menambah daftar efek negatif dari global warming.
Fakta teranyar yang terungkap, pemanasan global dapat mengakibatkan kerusakan hati
Pemanasan global atau yang lebih dikenal dengan Global Warming memiliki bermacam efek negatif. Dikutip detikhot dari Health24, Jumat (23/11/2007) Cizao Ren dari Departemen Epidemologi Fakultas Kedokteran Universitas California, Amerika Serikat melakukan sebuah penelitian dengan mengambil sampel dari 100 juta orang yang tinggal di 95 daerah yang berbeda di seluruh Amerika Serikat.
Hasilnya menyebutkan bahwa, pada periode bulan Juni-September, banyak orang yang meninggal akibat penyakit jantung, dan dipercaya hal tersebut adalah efek dari temperatur udara yang semakin panas serta menipisnya lapisan ozon.
Semakin tipisnya lapisan ozon, maka temperatur udara akan semakin naik. Udara pun semakin panas. Saat ini angka kematian yang disebabkan oleh stroke dan kerusakan hati akibat pemanasan global meningkat hingga 8 persen.
Selain itu data yang dimiliki Ren juga menunjukkan, di Amerika Serikat pada periode tahun 1987-2000, angka kematian akibat stroke dan kerusakan hati mencapai 4 juta orang.
Menurut Ren, Masalah ini akan semakin parah, karena lapisan ozon semakin lama
semakin menipis, dan tingkat polusi semakin tinggi, sehingga mempunyai
efek yang sangat buruk bagi kesehatan.
Sumber : DetikHot
Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
Iklim Mulai Tidak Stabil
Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[22]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
[sunting] Peningkatan permukaan laut
Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.
Suhu global cenderung meningkat
Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
Gangguan ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
Dampak sosial dan politik
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climat change)yang bis berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.
Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.[15]
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan risiko populasi yang sangat besar.
Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Variasi Matahari
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.[14]
Sumber : Wikipedia
Efek rumah kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.
[sunting] Efek umpan balik
Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[5]
Hari Bumi diperingati pada tanggal 22 April secara Internasional. Hari Bumi dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang ditinggali manusia ini yaitu bumi. Dicanangkan oleh Senator Amerika Serikat Gaylord Nelson pada tahun 1970 seorang pengajar lingkungan hidup. Tanggal ini bertepatan pada musim semi di Northern Hemisphere (belahan bumi utara) dan musim gugur di belahan bumi selatan. PBB sendiri merayakan hari bumi pada 20 Maret sebuah tradisi yang dicanangkan aktivis perdamaian John McConnell pada tahun 1969, adalah hari dimana matahari tepat diatas khatulistiwa yang sering disebut Ekuinoks Maret.

Kita semua sama2 tahu bahwa pemanasan global sedang terjadi. IPCC melaporakn penelitiannya bahwa 0,15 - 0,3o C. Jika peningkatan suhu itu terus berlanjut, diperkirakan pada tahun 2040 (33 tahun dari sekarang) lapisan es di kutub-kutub bumi akan habis meleleh. Dan jika bumi masih terus memanas, pada tahun 2050 akan terjadi kekurangan air tawar, sehingga kelaparan pun akan meluas di seantero jagat.
Udara akan sangat panas, jutaan orang berebut air dan makanan. Napas tersengal oleh asap dan debu. Rumah-rumah di pesisir terendam air laut. Luapan air laut makin lama makin luas, sehingga akhirnya menelan seluruh pulau. Harta benda akan lenyap, begitu pula nyawa manusia.
Hasil studi yang dilakukan ilmuwan di Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Institut Teknologi Bandung (2007), pun tak kalah mengerikan. Ternyata, permukaan air laut Teluk Jakarta meningkat setinggi 0,8 cm. Jika suhu bumi terus meningkat, maka diperkirakan, pada tahun 2050 daera-daerah di Jakarta (seperti : Kosambi, Penjaringan, dan Cilincing) dan Bekasi (seperti : Muaragembong, Babelan, dan Tarumajaya) akan terendam semuanya.
Yah,,,kita semua sudah mengetahui itu… dan sebagian orang tetap mencoba untuk memberitahukan bahwa kejadian ini benar-benar sedang terjadi… namun tetap tidak sedikit orang yang masih tidak peduli. Mungkin karena kita masih merasa nyaman dengan keadaan sekarang…bisa menikamti semuanya mulai dari makanan, air, udara, daratan yang sukup untuk bermain bola, social yang masih cukup damai, dll…
Yah…itu saat ini…lalu bagaimana jika 10 tahun lagi, atau 20 tahun, atau sampai 30 tahun lagi. Saya tahu tidak akan terjadi perubahan yang signifikan saat ini karena kita semua masih menganggap ini hal yang biasa, tapi saya akan menjadi manusia yang sangat bodoh jika saya tidak terus mencoba untuk menginformasikan ini.
Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Ada beberapa cara mudah yang bias kita lakukan, yaitu ;
1. Matikan listrik. (jika tidak digunakan, jangan tinggalkan alat elektronik dalam keadaan standby. Cabut charger telp. genggam dari stop kontak. Meski listrik tak mengeluarkan emisi karbon, pembangkit listrik PLN menggunakan bahan baker fosil penyumbang besar emisi).
2. Ganti bohlam lampu (ke jenis CFL, sesuai daya listrik. Meski harganya agak mahal, lampu ini lebih hemat listrik dan awet).
3. Bersihkan lampu (debu bisa mengurangi tingkat penerangan hingga 5%).
4. Jika terpaksa memakai AC (tutup pintu dan jendela selama AC menyala. Atur suhu sejuk secukupnya, sekitar 21-24o C).
5. Gunakan timer (untuk AC, microwave, oven, magic jar, dll).
6. Alihkan panas limbah mesin AC untuk mengoperasikan water-heater.
7. Tanam pohon di lingkungan sekitar Anda.
8. Jemur pakaian di luar. Angin dan panas matahari lebih baik ketimbang memakai mesin (dryer) yang banyak mengeluarkan emisi karbon.
9. Gunakan kendaraan umum (untuk mengurangi polusi udara).
10. Hemat penggunaan kertas (bahan bakunya berasal dari kayu).
11. Say no to plastic. Hampir semua sampah plastic menghasilkan gas berbahaya ketika dibakar. Atau Anda juga dapat membantu mengumpulkannya untuk didaur ulang kembali.
12. Sebarkan berita ini kepada orang-orang di sekitar Anda, agar mereka turut berperan serta dalam menyelamatkan bumi.
Badai matahari belakangan banyak dibicarakan sebagai penyebab kiamat pada 2012. Namun tak perlu khawatir, karena ada magnetosfer. Medan magnet bumi yang menjangkau ribuan kilometer ke antariksa ini bisa melindungi bumi dari puncak badai matahari.
"Bagi bumi, magnetosfer ibarat perisai, sehingga seperti biasanya akan kembali menjadi pelindung bumi ketika aktivitas badai matahari sedang mengalami puncaknya pada sekitar 2012-2013," kata Kepala Pemanfaatan Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Sri Kaloka Prabotosari di Jakarta, Selasa.
Ketika aliran angin matahari yang memiliki kecepatan supersonik memasuki daerah magnetosfer dengan kecepatan subsonik, lanjut dia, maka akan menimbulkan suatu gelombang kejut berbentuk seperti perisai. Gelombang yang dinamakan "bow shock" ini ketebalannya sekira 100 km sampai dua kali jari-jari bumi.
Magnetosfer, ujar dia, menahan radiasi dan membelokkan partikel-partikel bermuatan serta angin matahari yang dapat membahayakan aktivitas manusia. "Ketika angin matahari melewatinya gelombang ini akan diperlambat, terkompresi dan dipanaskan."
Sri mengatakan, pada sekitar 2012-2013 memang diperkirakan akan terjadi puncak dari aktivitas matahari, di mana terjadi ledakan di matahari akibat terbukanya salah satu kumparan medan magnet matahari (flare) dan lontaran massa korona (Coronal Mass Ejection/CME) yang bisa menyebabkan badai geomagnetik.
Namun, kata dia, peristiwa badai matahari merupakan hal biasa, di mana puncak aktivitas matahari memiliki siklus antara 9-13 tahun atau rata-rata 11 tahun, dan siklus terakhir terjadi pada tahun 2000.
"Pada 2000 berbagai satelit mengalami gangguan hingga hilang kontak," katanya sambil menambahkan bahwa pengaruh badai matahari terkuat justru terjadi pada 2003, di mana di Swedia pada November 2003 sempat terjadi aliran listrik padam seluruhnya.
Menurut Sri, melalui pengoperasian instrumen optik seperti teleskop, LAPAN memantau secara terus menerus aktivitas matahari, namun aktivitas badai matahari baru bisa diperkirakan dalam waktu yang singkat.
"Dengan melihat sunspot (bintik hitam) bisa diperkirakan akan terjadi flare dan berapa besarnya, namun harus dilihat juga posisinya di mana, karena tidak semua flare bisa mencapai bumi, tergantung dari medan magnet. Jika diketahui ada flare maka flare itu akan sampai ke bumi sekitar 1-4 hari atau rata-rata dua hari," kata Kepala Bidang Matahari dan Antariksa LAPAN, Clara Yono Yatini.
Direktur Observatorium Boscha, Taufik Hidayat juga membantah bahwa pada 2012 bumi akan dihampiri planet Nibiru yang dapat menghancurkan bumi. Ia juga membantah terjadinya kesejajaran antara bumi dengan pusat Galaksi Bimasakti, yang menyebabkan medan magnet galaksi merusak kehidupan di bumi.
"Hasil hitungan software astronomi juga membantah terjadinya konfigurasi planet-planet di tata surya ini yang membentuk satu garis lurus pada 2012," katanya.
Pembalikan kutub medan magnet bumi, menurut dia, juga tidak akan berpengaruh pada kehidupan di bumi karena prosesnya terjadi begitu lama sehingga manusia beradaptasi. Selain itu pembalikan kutub ini juga telah terjadi beberapa kali dengan periode jutaan tahun.
Global warming!! Pastilah kata itu sudah tidak asing lagi ditelinga kita, pemanasan global yang terjadi karena suhu bumi yang terus meningkat. Saat ini, kerusakan dimuka bumi sudah semakin parah, bencana yang paling nyata adalah cuaca yag tidak menentu. Hasil panen para petani menurun karena cuaca yang beruba-ubah. Bahkan, kita tahu es dikutub mulai mencair, dan baru beberapa bulan lalu ditemukan bongkahan es diperairan Selandia Baru. Ini hanyalah sebagian kecil akibat negatif dari pemanasan global atau global warming, masih banyak akibat negatif lain yang akan terjadi yang pasti berdampak buruk bagi kehidupan di bumi jika global warming terus terjadi. Lantas, siapa penyebab semua ini? Siapa yang harusnya bertanggungjawab atas keadaan ini? Tentu saja penghuni bumi. Pemanasan global sebagian besar adalah akibat kecerobohan manusia. Banyaknya polusi udara yang berasal dari asap kendaraan, pabrik dan bau sampah yang kandungan zatnya 3kali lebih berbahaya dari zat karbon. Itu semua bisa menyebabkan efek rumah kaca. Panas matahari yang masuk ke bumi tidak bisa keluar kembali keluar permukaan bumi karena tertahan oleh polusi udara, akibatnya suhu dibumi menjadi semakin meningkat. Dan kita pasti tahu akibat terburuk dari suhu yang semakin panas. Es-es dikutub lama kelamaan bisa mencair!!, dan dipastikan benua Asia termasuk Indonesia akan tenggelam dan hilang karena naiknya permukaan laut akibat es mencair. Bisakah kalian bayangkan? Lalu apa yang harus kita lakukan demi bumi kita?
Mulailah dari diri sendiri, cintakah kita terhadap bumi? Banyak hal yang dapat kta lakukan untuk memperbaiki keadaan bumi. Mulai dari hal terkecil, buanglah sampah pada tempatnya. Banyak orang yang meremehkan sampah walaupun itu hanya sebungkus permen kecil. Sebenarnya sampah yan kita buang apabila dibiarkan akan membusuk, bau tidak sedap yang tercium sangat berbahaya bagi pernapasan manusia dan juga berbahaya bagi lapisan ozon bumi kita, kandungan zatnya lebih berbahaya 3kali lipat dari zat karbon. Bayangkan,,zat karbon saja bisa membuat lapisan ozon bumi kta berlubang,,bagaimana dengan sampah yang bahayanya 3 kali lipat? Kita harus benar-benar peduli terhadap bumi kita , jika kita masih sayang dan masih ingin menginjakkan kaki dibumi ini.
Dibeberapa daerah mulai muncul sekelompok orang yang peduli terhadap sampah. Contohnya di Kedal, Jawa Tengah. Ada sekelompok orang yang peduli terhadap sampah, mereka memproses sampah organik untuk dijadikan kompos di Pengelolaan Sampah Terpadu Pasar Kedal. Selain menghasilkan uang, pembuatan kompos ini bisa menanggulangi masalah sampah dipemukiman. Selain memproses sampah organic, mereka juga memproses samapah anorganik untuk didaur ulang menjadi mainan ataupun sekedar hiasan yang memiliki nilai estetika tinggi. Contohnya sampah plastik yang dijadikan layang-layang, payung dan kap lampu.
Setidaknya ini dapat meminimalisir sampah di daerah Kedal, Jawa Tenganh. Semoga kota lain di luar daerah jawa pun tergerak hatinya untuk peduli terhadap sampah dan peduli terhadap bumi kita. Bumi adalah milik kita yang harus kita jaga bersama. Tanamkan dalam diri kita, bahwa kita saying bumi dan tidak akan merusaknya. Jika bukan kita yang peduli, siapa lagi???…..
OMIDAPS sendiri berbasis di Amerika Serikat dan memiliki tujuan utama untuk mengumpulkan data-data ilmiah terkait komposisi atmosfer bumi. Selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk meneliti lapisan ozon dan mendiagnosa perubahan iklim planet.
NASA memilih Hitachi Content Archive Platform untuk mengkonsolidasikan tampilan dan pencarian data dengan volume lebih dari 70 terabytes (TB). Selain memilih platform, NASA juga akan merubah sistem penyimpan data lamanya untuk mencari informasi penting dengan aman dan tepat waktu.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sepanjang 1976-2008, tercatat 30 penyakit baru muncul akibat perubahan iklim dan pemanasan global.
Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup, Amanda Katil Niode di sela-sela penganugerahan Raksaniyata 2008 di Jakarta, Jumat (14/11) mengatakan, munculnya penyakit ini karena temperatur suhu panas bumi yang terus meningkat.
"Yang paling jelas kelihatan penyakit demam berdarah, kolera, diare, disusul virus ebola yang sangat mematikan," katanya.
Menurut dia, masalah kesehatan akibat pemanasan global memang sangat dirasakan parahnya oleh negara-negara berkembang yang sebagian masih miskin. Karena minimnya dana sehingga tak mampu lagi melaksanakan berbagai program persiapan dan tanggap darurat.
Untuk mengatasi dampak buruk perubahan iklim terhadap kesehatan manusia itu, tidak bisa dilakukan sendiri oleh masing-masing negara. Upaya itu baru akan berhasil jika dilakukan melalui kerjasama global, seperti meningkatkan pengawasan dan pengendalian penyakit-penyakit infeksi, memastikan penggunaan air tanah yang kian surut, dan mengkoordinasikan tindakan kesehatan darurat.
Konferensi perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark, dimulai dengan ekspektasi tinggi. Ribuan delegasi dan sekitar 190 kepala negara berkumpul untuk membahas upaya bersama mengatasi kerusakan lingkungan yang berdampak pada perubahan iklim.
Tak mau kalah, ribuan anggota lembaga swadaya masyarakat dari seluruh dunia membanjiri Kopenhagen untuk membikin sidang tandingan sambil melakukan unjuk rasa. Semua itu menunjukkan isu perubahan iklim mendesak diatasi. Taruhannya memang tak main-main Kelangsungan manusia dan seluruh makhluk hidup lainnya di Planet Bumi ini.
Dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim kita rasakan dalam hidup sehari-hari. Cuaca semakin sulit diramaikan, banjir dan longsor semakin kerap terjadi. Hutan-hutan terbakar karena suhu yang terlalu panas.
Mereka yang hidup di belahan bumi utara saat ini menghadapi cuaca dingin yang ekstrem, yang membuat perekonomian nyaris lumpuh. Permukaan laut menjadi lebih tinggi menyusul cairnya gunung-gunung es di kutub-sebagai dampak peningkatan pemanasan global-yang menimbulkan banjir di banyak bagian dunia.
Bahaya lain mengintai dari kekacauan iklim itu, yakni kelaparan sebagai akibat gagal panen.
Pemanasan global terjadi karena tingginya tingkat emisi karbon dioksida, dengan penyumbang utama kebakaran hutan dan buangan industri. Untuk menekan tingkat emisi itu, aktivitas industri harus dikurangi. Tapi siapa yang mau? Tak ada satu pun negara yang bersedia menjadi pahlawan dalam hal ini.
Dalam perundingan selama hampir dua minggu di Kopenhagen, negara-negara industri maju, terutama AS, tak bersedia memberikan komitmen konkret terkait pengurangan emisi. Telunjuk diarahkan kepada China, India, Afrika Selatan, dan Brazil dengan alasan aktivitas industri mereka sangat pesat, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Mungkin demi menghindari kebuntuan total, negara-negara maju plus kekuatan ekonomi baru melakukan pertemuan tertutup, dan sepakat membatasi peningkatan temperatur bumi hingga 2 derajat Celcius. Namun tidak diatur sasaran upaya mengatasi emisi gas hingga 2020. Artinya, tetap tanpa komitmen nyata.
Negara berkembang dan miskin protes, apalagi yang paling menderita karena kerusakan lingkungan dan perubahan iklim itu justru warga miskin. Kalaupun ada janji pemberian bantuan US$100 miliar bagi mereka, syaratnya pasti tak mudah, yang ujung-ujungnya merugikan sebagaimana berbagai bantuan yang selama ini diterima negara berkembang/miskin.
Kesepakatan global untuk mengatasi perubahan iklim membutuhkan negosiasi yang panjang, padahal dampak perubahan iklim menuntut upaya cepat untuk mengatasinya.
Pada akhirnya lebih bijaksana jika setiap negara berinisiatif melaksanakan apa yang mampu mereka lakukan dalam melindungi kelestarian lingkungan, seraya mendukung pengembangan teknologi ramah lingkungan yang murah.
SUMBER : BATAVIASE.CO.ID
SAVE OUR EARTH
MARI KITA LINDUNGI BUMI KITA DARI KESEWENANG-WENANGAN DAN KESERAKAHAN MANUSIA YANG TAK BERTANGGUNGJAWAB!
MARI KITA WARISKAN BUMI KITA INI KEPADA GENERASI MENDATANG DALAM KONDISI YANG HIJAU DAN ASRI!
LINDUNGI BUMI UNTUK GENERASI MENDATANG !






