Konferensi perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark, dimulai dengan ekspektasi tinggi. Ribuan delegasi dan sekitar 190 kepala negara berkumpul untuk membahas upaya bersama mengatasi kerusakan lingkungan yang berdampak pada perubahan iklim.
Tak mau kalah, ribuan anggota lembaga swadaya masyarakat dari seluruh dunia membanjiri Kopenhagen untuk membikin sidang tandingan sambil melakukan unjuk rasa. Semua itu menunjukkan isu perubahan iklim mendesak diatasi. Taruhannya memang tak main-main Kelangsungan manusia dan seluruh makhluk hidup lainnya di Planet Bumi ini.
Dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim kita rasakan dalam hidup sehari-hari. Cuaca semakin sulit diramaikan, banjir dan longsor semakin kerap terjadi. Hutan-hutan terbakar karena suhu yang terlalu panas.
Mereka yang hidup di belahan bumi utara saat ini menghadapi cuaca dingin yang ekstrem, yang membuat perekonomian nyaris lumpuh. Permukaan laut menjadi lebih tinggi menyusul cairnya gunung-gunung es di kutub-sebagai dampak peningkatan pemanasan global-yang menimbulkan banjir di banyak bagian dunia.
Bahaya lain mengintai dari kekacauan iklim itu, yakni kelaparan sebagai akibat gagal panen.
Pemanasan global terjadi karena tingginya tingkat emisi karbon dioksida, dengan penyumbang utama kebakaran hutan dan buangan industri. Untuk menekan tingkat emisi itu, aktivitas industri harus dikurangi. Tapi siapa yang mau? Tak ada satu pun negara yang bersedia menjadi pahlawan dalam hal ini.
Dalam perundingan selama hampir dua minggu di Kopenhagen, negara-negara industri maju, terutama AS, tak bersedia memberikan komitmen konkret terkait pengurangan emisi. Telunjuk diarahkan kepada China, India, Afrika Selatan, dan Brazil dengan alasan aktivitas industri mereka sangat pesat, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Mungkin demi menghindari kebuntuan total, negara-negara maju plus kekuatan ekonomi baru melakukan pertemuan tertutup, dan sepakat membatasi peningkatan temperatur bumi hingga 2 derajat Celcius. Namun tidak diatur sasaran upaya mengatasi emisi gas hingga 2020. Artinya, tetap tanpa komitmen nyata.
Negara berkembang dan miskin protes, apalagi yang paling menderita karena kerusakan lingkungan dan perubahan iklim itu justru warga miskin. Kalaupun ada janji pemberian bantuan US$100 miliar bagi mereka, syaratnya pasti tak mudah, yang ujung-ujungnya merugikan sebagaimana berbagai bantuan yang selama ini diterima negara berkembang/miskin.
Kesepakatan global untuk mengatasi perubahan iklim membutuhkan negosiasi yang panjang, padahal dampak perubahan iklim menuntut upaya cepat untuk mengatasinya.
Pada akhirnya lebih bijaksana jika setiap negara berinisiatif melaksanakan apa yang mampu mereka lakukan dalam melindungi kelestarian lingkungan, seraya mendukung pengembangan teknologi ramah lingkungan yang murah.
SUMBER : BATAVIASE.CO.ID






